Oleh Harihanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - Inisiator Pembentukan Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Mulawarman,
"Gitu-Gitu Doktor, Anda kalau Dimasukkan ke Dalam Komputer ke Luar Jadi Cicak " Itulah kalimat yang diucapkan oleh seorang pejabat akademik di Perguruan Tinggi tempat saya bekerja, pada 1980 – 1990an. Saat itu, ketika sang pejabat sedang asyik memberikan materi kepada para yunior (termasuk saya) di dalam suatu kegiatan, tiba-tiba masuklah seseorang ke dalam ruangan. Menyadari bahwa dirinya salah masuk ruangan, maka yang bersangkutan tanpa “ba” tanpa “bu” segera balik kanan ke luar. Saat itulah sang pejabat mengucapkan kalimat di atas. Kalimat itu diucapkan karena orang yang salah masuk tersebut merupakan salah seorang bergelar doktor yang jumlahnya di Kalimantan Timur saat itu masih dapat dihitung dengan jari manusia. Kata “gitu-gitu” digunakan karena selain yang besangkutan segera balik kana tanpa “ba dan bu” setelah menyadari kesalahannya, (mohon maaf) penampilan sang doktor lulusan luar negeri itu tidaklah segagah gelarnya.
Tulisan ini saya buat karena belakangan muncul kembali fenomena “gila gelar” di kalangan masyarakat Indonesia (tahun 2005 saya membuat tulisan berjudul “Gila Gelar, Gelar Gila”). Karena saat itu terjadi fenomena yang sama – banyak orang memburu gelar doktor, sehingga muncul lembaga pendidikan doktor yang ditengarai memberikan gelar doktor “gila” kepada peserta didiknya. Proses pendidikan dilakukan di hotel-hotel, pesertanya orang-orang berduit, termasuk pejabat dan mantan pejabat. Salah satu kalimat di dalam tulisan saya tersebut (yang bersumber dari media massa nasional) adalah sbb: “Beberapa hari terakhir misalnya, media cetak nasional dan daerah ramai memberitakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sedang mengusut gelar (akademik) ilegal (tidak sah) alias palsu yang banyak diterima, dimiliki dan dipakai oleh anggota masyarakat. Bahkan banyak pejabat (termasuk petinggi Polri sendiri) ditengarai memiliki gelar ini. Gelar tersebut mulai dari gelar untuk pendidikan strata satu (sarjana) sampai strata tiga (doktor), bahkan profesor (guru besar). Gelar tersebut dikategorikan ilegal antara lain karena diperoleh tanpa melalui prosedur yang benar, tanpa ada kegiatan perkuliahan, lembaga yang memberikan tidak memiliki izin (tidak terakreditasi oleh pihak yang berkompeten). Lembaga penyelenggaranya dikenal dengan singkatan IMGI (saya sudah lupa kepanjangannya). Salah seorang kolega saya juga sempat mengikuti dan mendapat gelar doktor dari lembaga/program itu. Namun pimpinan lembaga kami melarang penggunaan gelar itu, dan kolega saya itu terpaksa berangkat ke pulau Jawa untuk mengikuti program pendidikan doktor yang sah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di sana. Mengomentari fenomena ini, saat itu senior saya yang beberapa kali membimbing dan menguji mahasiswa doktoral di Negeri Belanda bercerita kepada saya bahwa koleganya di Belanda bilang “kok orang Indonesia ini gila gelar ya?”
Sekarang muncul lagi lembaga luar negeri semacam itu, salah satunya adalah University Institute of Professional Management yang memberikan gelar doktor kehormatan kepada salah satu warga negara Indonesia. Lembaga ini ditengarai tidak terdaftar dan bahkan profesor yang memberikan gelar itu ditengarai sebagai profesor gadungan (Tribun Medan, Rabu 6 November 2024). Selain itu juga banyak pejabat pemerintah (pusat dan daerah) yang mengikuti program pendidikan dan memperolah gelar doktor dari lembaga pendidikan resmi di dalam waktu yang relatif singkat, sehingga dipertanyakan keabsahannya oleh masyarakat, misalnya gelar doktor yang diberikan oleh Universitas Indonesia kepada seorang Menteri yang ramai dibicarakan oleh masyarakat di media massa dan media sosial. Sang doktor menyelesaikan program doktornya kurang dari dua tahun (TEMPO, 14 November 2024). Akibatnya lembaga penyelenggara program pendidikan dan dosen pembimbing sang mahasiswa-pun menjadi sasaran kecaman dari masyarakat.
Pengalaman kami (yang baru lima tahun sebagai inisiator dan penyelenggara pendidikan doktor) di lembaga kami, doktor tercepat yang lulus memerlukan waktu tiga tahun). Sedangkan ketentuan dari pemerintah paling lama tujuh tahun (Pasal 17 Permendikbud Nomor 3 tahun 2020). Jika selama tujuh tahun belum lulus dapat diperpanjang dengan syarat tertentu. Mahasiswa kami ada juga beberapa pejabat publik (politikus, kali ini saya tulis secara benar, biasnya saya plesetkan menjadi “poli-tikus”) daerah (anggota DPRD Provinsi). Namun kami tetap bertindak profesional terhadap mereka. Satu mahasiswa sudah lulus dengan waktu studi empat tahun. Pada Pemilihan Kepala Daerah kemarin yang bersangkutan terpilih sebagai wakil Wali Kota di salah satu Kota di Provinsi Kalimantan Timur. Kepada para mahasiswa, terutama mahasiswa pejabat publik selalu saya pesankan agar ilmu yang didapat dari bangku kuliah ini sedapat mungkin diterapkan di dalam bentuk apa-pun sesuai dengan kapasitas, kewenangan, dan kemampuan mereka, guna melindungi lingkungan, memberikan pencerahan kepada masyarakat, dan sebagainya, terkait dengan hal-hal yang ideal (yang “seharusnya” atau “das sollen” istilah teman saya yang sekolahnya di Jerman). Saya contohkan kepada mereka kebiasaan saya menulis di media massa ataupun media sosial tentang masalah sosial, masalah lingkungan, dan bahkan masalah politik (yang belakangan ini semakin ramai), dengan tujuan memberikan pencerahan kepada masyarakat dan alternatif solusi kepada pejabat terkait, karena masih banyak anggota masyarakat kita yang memerlukan pencerahan. Anggota masyarakat yang miskin dan masih bodoh jangan malah “dibodohi” kata saya. Itu pula jawaban yang saya sampaikan ketika ada salah seorang yang mengomentari tulisan saya di koran yang saya posting di wag suatu organisasi sosial nasional, di mana saya sebagai anggota merangkap ketua di provinsi ini, dengan komentar “wah menginspirasi saya untuk menulis” .
Jawaban di atas saya sampaikan bukannya tanpa dasar dan alasan. Alasan dan bukti di lapangan, khalayak (khususnya kalangan yang berpendidikan alias “orang sekolahan” atau orang yang cukup “makan bangku sekolahan”) dapat mengamatinya sendiri. Akibat keadaan ini pula di tingkat nasional banyak tokoh (orang sekolahan) dan tergolong “ilmuwan” yang terpanggil untuk mendudukkan persoalan pada proporsinya (yang secara Aksiologi memang merupakan salah satu tanggung-jawab sosial ilmuwan), dan memberikan pelajaran politik kepada masyarakat . Mengingat di negara republik seperti Indonesia ini, kedaulatan ada di tangan rakyat. Pejabat publik (termasuk presiden itu suruhannya rakyat, “kacung”-nya rakyat menurut istilah orang Surabaya) yang “disuruh” oleh rakyat melalui pemilihan umum. Jadi sebagai rakyat tidak boleh buta politik, supaya paham tentang hak-hak politiknya (seperti yang pernah dikatakan oleh mantan presiden BJ Habibie “kita tidak harus terjun ke politik praktis, tapi tidak boleh buta politik) , dan tidak dibodohi oleh pejabat publik yang notabene adalah kacungnya rakyat.
Mereka yang terpanggil untuk mendudukkan masalah sosial dan politik pada proporsi yang sebenarnya, memberikan pencerahan dan pembelajaran politik kepada masyarakat itu antara lain adalah Prof. IN. Beliau heran dan menyayangkan karena ada seorang teman sejawatnya yang tergolong ilmuwan tetapi tindakannya justru berlawanan dengan yang seharusnya. Tidak mendudukkan masalah pada proporsi yang sebenarnya, tetapi malah menggadaikan (meminjam istilahnya Gombloh) harga dirinya dengan do it. Yang bersangkutan bergabung dengan pejabat publik yang menyalah-gunakan dan menyelewengkan amanat rakyat . Para tokoh yang terpanggil itu ramai-ramai memberikan pencerahan dan pembelajaran politik kepada masyarakat melalui podcast, media sosial yang sedang ngetrend. Hal ini mestinya direspon positif dan dapat menjadikan masyarakat (rakyat) lebih melek politik.
Menyambung cerita tentang sikap kami terhadap mahasiswa, kepada mahasiswa lainnya yang bukan pejabat publik, khususnya mahasiswa S1 saya sampaikan bahwa “Anda boleh terjun ke politik praktis tetapi harus dengan niat untuk mengurus masyarakat, bangsa, dan negara; bukan dengan niat yang lain, misalnya korupsi”. Karena dengan hak-hak anda yang resmi (gaji dan tunjangan) saja anda dapat hidup layak. Sedangkan di sisi lain masih banyak anggota masyarakat (rakyat) yang makannya Senin – Kamis, padahal mereka tidak berniat puasa Senin – Kamis. Kewajiban Anda sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat (termasuk rakyat miskin itu) adalah mengurus mereka supaya dapat hidup layak. Setelah dipilih rakyat dan “jadi”, Anda harus tetap “ingat kepada orang banyak yang memilih” anda, jangan hanya ingat kepada “sedikit orang yang bisa memberi banyak” kepada Anda. Bahkan mengurusnya, jangan menjadi “kulit lupa kacangnya”.
2025-Jul